Lalu Lintas Percakapan dan Kampanye Politik di Media Sosial
Saat ini media sosial merupakan sarana yang dinilai tepat untuk menyebarkan informasi secara efektif dan efisien. Tak jarang karena kemudahan aksesnya, media sosial turut dimanfaatkan para pelaku politik dan pemangku kepentingan untuk melakukan kampanye politik.
Dalam kegiatan Government Social Media Summit yang digelar pada 27–29 November 2020, kampanye politik di media sosial menjadi salah satu topik utama yang dibahas, tepatnya mengenai “Lalu Lintas Percakapan dan Kampanye Politik di Media Sosial”.
Tren Kampanye Politik di Media Sosial
Tren komunikasi maupun kampanye yang terjadi dalam pemilihan politik di Indonesia mengalami perubahan. Dimulai dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ketika para kandidat calon presiden mulai memanfaatkan media sosial sebagai wadah promosi. Saat itu tim sukses Prabowo memusatkan kegiatan kampanye di platform Twitter yang terafiliasi langsung dengan partai Gerindra, sedangkan tim sukses Jokowi lebih bertumpu pada sukarelawan.
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017, mulai terdapat polaritas antara pendukung pasangan calon. Persaingan kembali sengit saat Pemilu 2019 ketika Jokowi dan Prabowo dipertemukan kembali dalam ajang pesta demokrasi, namun tidak seperti pemilu maupun pilkada di tahun-tahun sebelumnya. CEO NoLimit, Aqsath Rasyid menilai bahwasanya pilkada di tengah kondisi pandemi Covid-19 adalah sebuah anomali karena fokus masyarakat lebih berpusat pada isu pandemi dan protokol kesehatan.
Mengulas kembali kampanye politik di media sosial yang terjadi beberapa tahun terakhir, ada beberapa masalah yang seringkali dihadapi. Masalah tersebut di antaranya, terdapat misinformasi antar para kandidat, hoaks, perilaku penyebaran informasi yang tidak otentik secara anonimus melalui akun palsu, penggunaan bot dan buzzer, kampanye hitam, hingga aliran dana kampanye yang tidak transparan.
Menurut Direktur Utama Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, ada empat masalah yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan pilkada menurut Perludem, yaitu praktik bagi-bagi uang atau amplop, partisipasi masyarakat terkait situasi pandemi, akurasi daftar pemilih, dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Berbicara mengenai netralitas ASN, yang seringkali terjadi di lapangan adalah mereka [para ASN] mendapat tekanan secara struktural hingga muncul kekhawatiran akan mutasi jabatan, karier mandek karena tidak mengikuti perintah atasan hingga kepentingan pragmatis. Karena adanya tekanan dan kekhawatiran tersebut, ASN kerap kali ditemukan melakukan pelanggaran,” ungkap Khoirunnisa.
Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada tahun 2020, kategori pelanggaran ASN dibagi menjadi lima, yaitu:
- melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai bakal cakada/wacakada (21.5%);
- melakukan kampanye atau sosialisasi media sosial (21.3%);
- mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada salah satu pasangan calon (13.6%);
- memasang spanduk atau baliho yang mempromosikan dirinya atau orang lain sebagai bakal cakada/wacakada (11.2%); dan
- membuat keputusan yang dapat menguntungkan atau merugikan pasangan calon selama masa kampanye (11%).
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku organisasi yang menjalankan riset serta pemantauan terkait kepemiluan, mendorong pemilu yang sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga lebih substantif. Hal ini, dijelaskan Perludem, perlu penerapan kode etik untuk meminimalisir terjadinya kecurangan pada masa kampanye.
Beberapa contoh penerapan kode etik yang bisa dilakukan:
- tim calon perlu melakukan cek fakta sebelum membuat pernyataan ataupun penyebaran informasi;
- menggunakan akun resmi yang tidak manipulatif;
- menghormati perbedaan pandangan;
- pada platform media sosial, pasangan calon harus bisa menerapkan prinsip dasar kebebasan berpendapat; dan
- untuk masyarakat sipil, diharapkan mampu aktif dan konsisten mendukung secara proporsional dan memberikan atensi terhadap peserta maupun kandidat pemilu, memberikan kritik yang positif, mendorong media massa untuk membedah secara jujur serta menjunjung tinggi pemilu yang jujur, adil, dan transparan.
Lebih lanjut, Khoirunnisa menyampaikan bahwa timses dan kandidat perlu memperhatikan dua hal penting saat melakukan kampanye politik di media sosial, yakni harus tetap menjaga konten yang positif serta tidak menyudutkan pihak lawan dan perlu adanya transparansi konten seperti laporan keuangan secara transparan (dana yang dikeluarkan untuk apa, dapat dari mana, dan juga jenis iklan seperti apa yang wajib tercermin dalam dana kampanye).