28 Oct

Pentingnya Hak Cipta dan Etika Hukum Bermedia Sosial Bagi Instansi Pemerintah

  • By Astuti Anggriani /

Instansi pemerintah harus memperhatikan hak cipta dan etika hukum dalam bermedia sosial. Topik ini dibahas dalam kegiatan GSM Conference 2021 dalam rangkaian kegiatan Governemnt Social Media Summit (GSMS) 2021 pada 24–25 November 2021.

Hak cipta merupakan suatu hak yang muncul secara otomatis ketika sebuah konten dipublikasikan. Hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta ada dengan tujuan mengatur, mengumumkan atau memperbanyak penggunaan hasil penuangan gagasan, hasil ciptaan maupun informasi tertentu dan/atau memberi izin dengan tidak mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terdapat dua macam hak cipta, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 pasal 5 hingga pasal 7 yang menyatakan bahwa hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta–mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum. Kemudian, hak ekonomi dalam hak cipta adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.

Terdapat berbagai macam ciptaan yang dilindungi dan diatur dalam Undang-Undang, mulai dari pengetahuan, seni, bahkan sastra. Bentuk perlindungan hak cipta tersebut berlaku selama pencipta masih hidup dan 70 tahun setelah pencipta meninggal atau 50 tahun setelah karya tersebut diciptakan dalam bentuk karya seperti buku, pamflet ataupun karya tertulis lainnya, ceramah, pidato, alat peraga, musik/lagu, drama, lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, kolase, seni pahat, patung, karya arsitektur, dan peta. Untuk karya seperti fotografi, sinematografi, terjemahan, kompilasi data, permainan video, dan program komputer mendapat perlindungan selama 50 tahun sejak karya tersebut diciptakan. Selanjutnya, untuk bentuk karya seni terapan mendapat perlindungan 25 tahun sejak karya tersebut diciptakan.

Aldeenea Christabel, tim riset dan analisis legal dari Hukumonline menyatakan jika dalam penerapan hak cipta, seseorang dapat melakukan tindakan ATM (amati, tiru, dan modifikasi) di media sosial, namun dengan catatan meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta suatu karya yang ingin ditiru. Jika pencipta telah mengizinkan, maka seseorang yang meniru suatu karya atau ciptaan tidak dapat dikatakan melanggar hak cipta.

Tidak hanya mengenai hak cipta yang dilindungi, tetapi juga dalam melakukan penyebaran informasi serta transaksi elektronik yang turut diatur oleh Undang-Undang hingga kemudian muncul UU ITE No. 11 Tahun 2018 yang merupakan bentuk amandemen dari UU ITE No. 19 Tahun 2016.

Christina Desy, yang juga tim riset dan analisis legal dari Hukumonline, menjelaskan bahwa dalam upaya meminimalisir multitafsir terhadap UU ITE, terutama peraturan yang menyangkut ancaman pidana, diterbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agus, dan KAPOLRI Indonesia No. 229, 154 KB/VI/2021 tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi dan Pasal tertentu UU ITE. Pedoman tersebut diterbitkan karena ditemukan banyak sekali kasus yang menjadikan UU ITE sebagai dasar untuk memidanakan seseorang atau pengguna media sosial yang didasari dengan 2 pasal utama di UU ITE, yaitu pasal 27 dan pasal 28.